Seilla Peri yang Terluka .. part seven

Pernahkah kamu begitu takut akan kehilangan. Terkadang aku bingung, padahal sebagai seorang peri seharusnya aku bisa melepaskan dan bisa menghilang begitu saja dengan sebuah pendaran cahaya. Sepertinya sudah lama sekali aku mengenal Pino dan sudah selama itulah aku bebas menjadi diriku sendiri, bebas menangis di depannya, bebas tertawa, bebas bercanda, bebas melakukan apa saja yang aku mau tanpa aku harus berpura-pura di depannya.

Sudah beberapa malam aku belum bertemu sama Pino, walau kadang aku dapat melihatnya tanpa memperlihatkan diriku padanya.. memang kesibukannya itu sepertinya terlalu terlalu terlalu banyak sampai terkadang untuk memanggilku pun saja melelahkan untukknya. Bagi kami peri, kami tidak seharusnya menampakkan diri pada manusia apabila kita tidak dipanggil atau terpanggil. Tapi aku begitu merindukannya, dan menelusuplah perasaan takut, takut kehilangan dan entah mengapa aku begitu takut hatiku akan hancur lagi.

“Seilla…” sebuah bisikan lembut ditengah tidurku malam itu. Aku terjaga perlahan dari tidurku dan mendapati sayapku berpendar perlahan. Masih dalam kantukku aku pun bertanya dalam hatiku sendiri, Pinokah yang memanggilku? atau mungkin seseorang lain yang pernah aku kenal. Hatiku berdebar, aku tersenyum kecil sendiri dan berharap-harap dalam hatiku kalau itu Pino.
“Seilla…” kembali bisikan itu membangunkan aku dari lamunanku.. Aku pun berpendar lagi dan menampakkan diri, menemukan Pino duduk di samping tempat tidurnya, terlihat begitu lelah, begitu lemas tetapi dia menyambutku dengan sebuah senyum.
“Pinoo… apa kabar?” tanyaku dengan suara yang kutahan-tahan meledak.. aku begitu merindukannya hingga aku terkadang bingung aku harus berkata apa.
“Baik Seilla, apa kabarmu? Rindukah kamu padaku?” pertanyaan yang aku tau merupakan candaannya hanya begitu terkena pada lubuk hatiku yang terdalam. Ternyata dia tidak mengetahui betapa aku merindukannya.
“Tentu saja aku rindu padamu. Mungkin kamu yang tidak rindu padaku Pino. Buktinya kamu menghilang bahkan tidak memberi kabar padaku sama sekali belakangan ini.” Jawabku pura-pura marah dan kecewa, walau rasa itu sedikit tersimpan di dalam hatiku yang terbelakang. Pino tertawa kecil lalu merebahkan tubuhnya di atas ranjang empuk tempatnya sedang duduk.
“Kalau aku tidak merindukanmu, tak mungkin aku memanggilmu sekarang khan peri manis?”
“Akuuu….” ingin aku katakan aku merindukannya, tapi kata-kata itu tertahan dan tersekat di tenggorokanku. Aku pun terdiam dan hanya mengamatinya dalam senyuman yang selalu muncul apabila aku melihatnya.
“Duduklah disini peri manis, aku punya banyak sekali cerita untukmu setelah sekian lama aku tidak bertemu denganmu, dan kamu juga pasti hutang banyak sekali cerita kepadaku.” katanya dengan mata terpejam kelelahan.
“Tidurlah Pino, aku akan menemanimu disini hingga waktu kunjungan periku habis. Ceritanya besok saja ya.. kamu butuh istirahat..” Jawabku sambil menghampirinya. Hanya gumaman yang aku dapatkan darinya, dan tak lama kemudian aku sudah tersenyum mendapatinya pulas tertidur. Dengkuran pelannya menghangatkan hati, dan aku merasa damai sekali setelah bertemu dengannya. Pino, kamulah jawaban pusat kenyamananku, dan aku harap aku tidak akan pernah kehilangan kamu.

Leave a comment